Di Kedai Kopi

Kami berdua duduk di meja paling pojok sebuah kedai. Kedai kopi tepatnya. Banyak meja yang masih kosong. Tapi pojok adalah tempat kesukaannya. Selang beberapa menit sebuah buku menu diantar oleh pelayan yang masih muda. Dia memesan kopi tubruk yang ia sebut kopi dua satu. Dua sendok kopi dan satu gula. Kopi yang sedikit pahit membuatnya merasa aman dari keramaian. Ditambah keheningan sebab kami duduk paling pojok dan setelah beberapa menit disini tak satupun dari kami membuka sesi perbincangan yang hangat.

Pelayan menghampiriku menanyakan pesananku. Dari sekian banyak menu kopi disini yang kupilih malah segelas perasaan jeruk nipis hangat. Kedai ini tak hanya menjual kopi. Ada beberapa varian minuman selain kopi yang sengaja disediakan untuk menghangatkan badan. Bukan. Bukan karena aku tak suka kopi. Aku begitu menyukainya, apalagi rasa Vanilla. Namun bagiku kopi adalah obat untuk seorang yang patah hati. Kopi adalah untuk mereka yang butuh inspirasi.Kopiadalah puisi. Aku tak sedang membutuhkannya saat ini. Dan meski aku sedang Flu dan hipotesis membuktikan Jeruk Nipis mampu menyembuhkan sakitku. Sebenarnya bukan itu alasannya. Aku hanya butuh diam. Diam mampu menghilangkan sosok yang duduk di hadapanku sekarang.

Hujan di luar masih mengguyur deras, aku tak tahu harus bahagia atau sedih. Aku tak merasakan apapun. Kami berdua sama-sama diam. Dia sibuk dengan ponselnya. Aku introvert, dan benar-benar tak pandai membuka sesi percakapan yang hangat. Kami berdua berbeda 180 derajat. Hingga saat ini aku tak tahu mengapa ia masih mempertahankanku. Yang kupikir kami harusnya telah usai beberapa bulan lalu. Dia baik. Baik yang bukan relatif. Saking baiknya terkadang aku tak tega menolak seluruh ajakanya untuk pergi. Termasuk ke kedai kopi ini. Dia bukan penyair yang pandai merayu. Namun seluruh perkataannya sudah cukup untukku. Sudah cukup membuatku kenyang. Ia sosok yang hebat, yang diinginkan semua perempuan. Tapi mengapa harus aku.

“Kenapa jeruk nipis?” kalimat pertama akhirnya keluar. Pertanyaan yang jawabanya telah aku pikirkan beberapa menit sebelumnya. Pertanyaan yang tak ingin kujawab karena akan menimbulkan kebohongan.

“Aku kena flu, kemarin kehujanan” kebohongan melucur dengan sempurna serupa jatuhnya hujan dari langit.

“Kamu baik-baik saja kan? Maaf mengajakmu kesini, harusnya kamu istirahat di rumah.”

“Tidak apa”

Dia tidak bersalah, kebohonganku lah yang membuatnya bersalah. Aku hanya muak. Tak ada lanjutan ataupun episode baru dari perbincangan kami. Keheningan seolah menciptakan penghakiman atas keputusannya yang mengajakku jalan sore ini. Selepas meneguk habis minuman ia mengantarku pulang. Senja itu masih gerimis di kota dan kami sama-sama pulang. Ada kelegaan luar biasa setelah berada di rumah.
Hujan kembali menderas. Gemanya di teras seolah mebujukku untuk melepasnya, membiarkannya.

Aku tidak mencintainya.
.
.
.
.

Aku bukan penulis ataupun penyair yang mahir. Seperti penulis-penulis lainnya aku juga masih belajar. Ini cerpen pertama yang aku tulis di blog. Semoga kalian suka.

58 pemikiran pada “Di Kedai Kopi

  1. wuaaah q jrg2 ngecek WP pas bulan ini, ini bulanku pas patah hati. 😁

    hr ini sempetin mampir krn mau cr2 puisi yg cocok buat mix puisi lagu nanti.

    Bagus dek Linda cerpennya, kereeennnn!
    Kirain beneran ini. Suka! 👍👍👍

    Disukai oleh 1 orang

  2. Keep going to write, brada. Ada banyak orang yang suka cerpen melow model begini. Termasuk saya. Terima kasih inspirasi dari secangkir kopi yang sudah dihidangkan.

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar