Memutar Ulang Memori

Aku kerap mendengar suara langkah laki-laki itu. Gemanya berdesir seperti angin yang selalu menghembus di padang pasir. Ia selalu tergesa tiap jejaknya seolah waktu sebentar lagi selesai dan dia tak punya kesempatan untuk mengulang segalanya. Aku melihat langkah yang tak seiring dengan jalannya pikiran. Ia tak punya hipnosis untuk mengendalikan tiap tindakan yang selalu berakhir mengenaskan.Tak punya cukup waktu untuk memikirkan lebih detail tentang kehidupan sebab segalanya ringkas. Tak pernah merenung dan menguatkan sugestinya tentang cinta atau hal lain yang tidak berguna.

Deru kereta dari kejauhan terdengar jelas. Suara kereta tak pernah sekalipun bergema lebih keras dari alunan musik yang terdengar melalui headset yang ia kenakan. Ia tak bosan meski lagu yang diputar itu-itu saja. Udara di Rennes memang selalu dingin seperti biasa. Lebih dingin dari sekedar butir hujan yang turun saat senja di Indonesia. Jaket tebal yang ia gunakan seolah memanipulasi semua orang. Ia terlihat hangat walaupun sebenarnya hatinya dingin dan beku.

Sekian banyak langkah yang ia tinggalkan membawanya sampai pada ruangan. Sebuah ruangan di apartemen lantai dua. Hening, sunyi, tak ada kebisingan lain kecuali detak jam yang menghitung detik. Ruangan itu dipagari oleh tembok putih yang mulai mengusam karena usia. Sudut-sudut ruangan seolah bicara padanya untuk mengajak kembali perempuan itu untuk pulang, menghabisi kesepian atau untuk singgah barang sekali saja. Namun terkadang kesibukan merenggut segalanya. Ego membuat cinta yang ia bangun bertahun-tahun luruh begitu saja seperti cat tembok yang mengelupas dengan mudah.

“Aku mencintaimu, selamanya selalu begitu. Cintaku bukan kereta yang begitu mudahnya meninggalkan penumpang yang telat meski cuma semenit. Cintaku selalu mencarimu seperti pengembara mencari oase di padang pasir dan penyair mencari konotasi yang tepat untuk mengabdikan makna”.

Puisi dari perempuan itu masih menggema di telinganya, di lantai dan sudut-sudut ruangan seolah tak mau hilang. Ia rindu perempuannya mengirim surat atau sekedar menelpon untuk saling bertukar kabar. Kebodohanlah yang membuatnya kalut dan melepas perempuan itu begitu saja. Dan sekarang segala yang ia tawarkan tak mampu menarik perempuan itu kembali.
***

Aku menatap langkah laki-laki itu setiap pagi. Sesorang yang memutar ulang memori-memori dalam hidupnya. Langkah, jalanan dan ruangan yang diputar berkali-kali. Serta laki-laki yang berlari menerjang halimun.Tanpa seseorang yang berujar puisi atau merayunya untuk kembali. Laki-laki itu, yang matanya abu-abu seperti pekatnya embun. Yang teduh seperti langit mendung. Dia menunggu deru kereta yang sampai namun tak membawa apa-apa.
***

Aku tak punya hadiah selain cerita ini Ar. Dan barang kali disana telah banyak yang menghadiahimu dengan kado special, bunga ataupun doa. Selamat ulang tahun Ar dan selamat menutup September, selamat merengkuh Oktober. Ada langkah baru yang harus engkau ciptakan di depan. dan semoga doaku mampu menjelma kehangatan yang mendekapmu. Maaf tidak tepat waktu mengirimkannya, karena sibuk mampu membuatku lupa. Aku mencintaimu.

25 pemikiran pada “Memutar Ulang Memori

Tinggalkan komentar