“Aku benci berbagi kesedihan apalagi melihat atau mendengarkan orang lain yang membagikan kesedihannya. Kesedihan mudah merambat dari orang satu ke yang lain. Dan tidak etis melihat orang lain sedih karena hidupmu.”
Kehidupan selalu merupa pohon yang menjulang tinggi. Tak semua bagiannya mampu abadi hingga nanti. Selalu ada dahannya yang berjatuhan. Rantingnya yang patah atau bagian lain yang rusak karena terinjeksi kuman maupun kekurangan nutrisi. Sebuah pohon meskipun terlihat tenang namun akarnya diam-diam telah jauh menyusup ke tanah menggapai apapun yang bisa ia gapai. Kesedihan adalah daun-daun pohon yang jatuh serta ranting yang patah. Mungkin saja meratapi kesedihan bukan hal yang baik sebab kau tahu jika Tuhan akan mengganti hidupmu dengan hal yang lebih baik. Kadang aku tak percaya itu, tapi hidup menuntutku untuk percaya.
Mereka bilang waktu akan menyembuhkan luka, time is supposed to heal you. Tapi tak ada luka yang bisa sembuh karena waktu. Yang ada adalah luka yang terlupa oleh waktu. Dan lupa tidak berarti sembuh.
“Jangan membagi kesedihanmu denganku, aku bukan pendengar yang baik. Aku pelupa, aku ceroboh. Dan jangan mencintaiku karena cukup aku saja yang bodoh dengan imajiku diam-diam masih mengharapkan seseorang datang membawa berpaket-paket bunga lalu puisi. Untuk dibuang percuma.”
Dan kau percaya jika sebuah pohon meski ia kokoh tak selamanya kuat menahan beban. Ada banyak alasan yang membuat seseorang tumbang. Dan sebuah pohon meski ia kerdil bukan berarti lemah. Kadar kekuatan kita untuk hidup tak diukur dari ketampakan fisik semata. Aku percaya.
Hatilah yang harus dirawat. Hati-hati dengan perasaanmu. Ia berkecamuk tiap kali kegagalan adalah debar yang membuatmu kehilangan. Tak ada korelasi dengan cinta atau hal melo lain. Tapi percayalah jika sebenarnya perjuangan harus serupa pohon. Akarnya yang kasat mata dan diam-diam bekerja di bawah tanah menghasilkan pohon yang kokoh menghalau kegagalan serta berkontribusi dalam membangun keberhasilan.
.
.
.
Untuk Devi….
Jika setiap mimpi harus diucapkan, aku memilih menulis…
Mending bagi duit 😀
SukaDisukai oleh 1 orang
Wah setuju bangeeetttt👌 apalagi buat anak kost yg duitnya nipis….
SukaDisukai oleh 1 orang
Waktu hanya membuat luka mengering. Sewaktu-waktu luka itu bisa berdarah lagi
SukaDisukai oleh 1 orang
Yep benar sekali… tak ada obat yg tepat….
SukaDisukai oleh 1 orang
Bagi es krim mau?
SukaDisukai oleh 1 orang
Mauuu…..
SukaDisukai oleh 1 orang
Ayoo
SukaDisukai oleh 1 orang
Bukan sembuh tapi terlupa. Setuju banget. 👍
SukaDisukai oleh 1 orang
Jadi yg bilang waktu bisa menyembuhkan luka itu bohong😢😢😢
SukaDisukai oleh 1 orang
Luka memang begitu membekas, tapi setidaknya waktu yang akan mempertemukan obatnya.
SukaDisukai oleh 1 orang
Yg bener ada obatnya??😏😉
SukaDisukai oleh 1 orang
Ada kok. Pasti ada.
SukaDisukai oleh 1 orang
Rawat hati = jaga perasaan. Jaga perasaan = menghindari sakit hati. Gitu kali yaa Lib?
SukaDisukai oleh 1 orang
Mungkin mbak… tapi sayangnya gaada resep buat ga patah hati…..😢😢😢
SukaSuka
Bagus puisinya. 😊
SukaDisukai oleh 1 orang
Thanks😊
SukaSuka
Km kuliah dimana?
SukaDisukai oleh 1 orang
Di surabaya kak😊
SukaSuka
Jurusan apa?
SukaSuka
Nama ignya apa?
SukaSuka
Kereennn
SukaDisukai oleh 1 orang
Thanks, salam kenal😊
SukaDisukai oleh 1 orang
Oke salam kenal juga 🙂
SukaDisukai oleh 1 orang
Aku mmilih mnulis, akan kuabadikan dirimi dengan tinta emas, agar kau tahu btpa dlm aku mencintamu 🙂
SukaSuka
Wah mbak😭😭😭😭
SukaDisukai oleh 1 orang
eh keren sumpah
SukaSuka
Thanks❤
SukaSuka
Aku juga memilih menulis
#pilihankitasama
SukaDisukai oleh 1 orang