Herbarium

image

Kedua mataku masih terbuka lebar jam satu lebih tiga puluh menit. Bukan karena terlalu banyak Kafeina melainkan terlalu banyak Endorfin yang terpompa di tubuh. Jangan menebak aku sedang memikirkanmu. Karena bukan kamu satu-satunya yang menetap di kepalaku malam ini. Aku sengaja datang untuk menempel beberapa lembar herbarium di kamar. Sejauh ini telah kukumpulkan berbagai spesies tumbuhan Spora, Pakis, ranting pohon juga bunga-bunga yang langsung dipetik dari kebun. Mungkin kau penasaran hobi dari planet mana yang telah kuadopsi ini. Atau engkau mungkin kau tak ingin tahu. Atau juga kau ingin bergabung bersamaku menghias dinding sembari berkisah tentang absurditas yang telah kita alami selama dua tahun tak bertemu.

Tidak. Tunggu dulu. Aku sudah lama menetap di kota ini. Pergi ke kota yang jauh dari alam dan hutan. Kamu salah satu yang membuatku selalu ingin cepat pulang tanpa mengharapkan pertemuan. Dan aku selalu pulang tiap akhir pekan. Aku ingin memberitahumu jika aku salah satu orang yang mengharapkan kepulanganmu selain keluargamu, ibu dan ayahmu, atau kakak dan adikmu. Aku tak menjadi bagian dari mereka. Dan kuakui aku hanya salah satu makhluk kecil yang singgah di planet bernama Bumi ini. Jadi presensiku tak perlu dihiraukan. Tetaplah engkau tenang. Tak akan ada aku yang mengganggumu disana.

Bunga-bungaku sengaja kugantung di kamar agar kering. Aku tahu kau jatuh cinta pada bunga yang diletakkan di etalase toko bunga. Benar bukan. Namun aku lebih suka bunga yang kutanam sendiri tanpa perlu membeli. Tidak ada yang istimewa, hanya saja dengan itu aku mampu menghargai hadirnya bunga-bunga di taman setelah menanti lima bulan. Jadi, jika mereka telah resmi kupetik tak akan terbuang sia-sia. Mereka akan tetap ada sebagai bunga kering yang menggantung bersama keeping-keping harapan. Dan bungaku, yang senantiasa menggantung di jendela. Mereka adalah kisahku, mereka adalah harapanku yang tetap ada meski kenyataan membungkamnya.

Herbariumku akan memenuhi dinding setelah ini. Tak ada lagi ruang untuk foto-fotomu atau bangau kertasmu. Semua telah kusimpan dalam lemari agar aku tak mengingatmu lagi. Tapi jika aku boleh jujur. Telah kusediakan ruang untukmu di hatiku. Tak ada pintu. Dan tak ada untukmu jalan untuk pergi atau keluar. Namun ruang itu masih kosong, masih menantimu hadir.

Aku selalu berasumsi. Andai saja kita adalah dua manusia yang ditakdirkan bersama. Pasti kitalah pemenang dari segala kompetisi yang mengikut-sertakan kreativitas. Tanganku dan tanganmu memang tak pernah bersentuhan. Namun kuyakini bakatmu dan bakatku adalah simbiosis mutualis. Jika kita bersama, aku percaya rumah kitalah yang luar biasa dari sekian banyak rumah-rumah di ranah ini. Rumah kita akan jadi sarang imaji yang melahirkan karya-karya manis. Juga tempelan herbarium di dinding, bunga-bunga yang mekar di taman. Dan Kaktus yang manis di rak buku. Kita akan melahirkan cerita-cerita yang indah jika bersama.

Sudah, aku cukup mengerti. Aku memang suka menyia-nyiakan tiap menitku untuk memikirkan impian gila. Kamu selalu disana dan kita adalah dua hal yang tak bisa bersama. Jadi impianku tak perlu digubris. Biarkan mereka ada sebagai pelengkap ceritaku saja. Dan herbariumku kini, biarlah tetap di dinding sebagai tanda. Bahwa aku pernah bermimpi bersamamu. Memiliki rumah bersamamu meski itu tak akan pernah.

11 pemikiran pada “Herbarium

  1. “Aku tahu kau jatuh cinta pada bunga yang diletakkan di etalase toko bunga. Benar bukan. Namun aku lebih suka bunga yang kutanam sendiri tanpa perlu membeli.”

    Rasa-rasanya kalimat ini sungguh, sungguh, sangat, kuat :’)

    Disukai oleh 2 orang

  2. *Teeetttt… Teeeeetttt* Galau akut terdeteksi πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚
    Walaupun mungkin berusaha melupakan, dengan menggantinya menjadi herbarium misalnya, terkadang itu malah semakin mengingatkan. Entah bagaimana mekanisme kita mengingat dan melupakan seseorang

    Suka

Tinggalkan komentar