Sepuluh Tangkai Mawar Putih

image
Pinterest.com

Matamu masih awas menatap layar komputer jam sembilan lebih tiga  puluh menit malam. Meja yang penuh dengan tumpukan tugas dan Kopi yang telah disesap habis. Malam ini kau bercerita tentang penantianmu pada akhir pekan yang tak kunjung datang. Kepala yang dipenuhi harapan agar bisa mengembara ke hutan. Jika kau punya pilihan pada hidup. Sejak lama pasti sudah kau memilih jadi pengelana yang berkeliling hutan bukan berdiam diri di depan laptop sebagai pelajar yang bersusah payah mencari ilmu dan pengalaman. Jungkir balik merasakan jatuh agar tahu pahitnya dunia.

Aku sering melihat wajahmu yang lelah. Mata yang terisi terlalu banyak Kafein atau Alkohol. Aku tak begitu paham tentang duniamu yang abstrak untukku. Kau selalu ingin mengajakku berkeliling pantai tiap Minggu. Menyantap udara laut yang mendamaikan. Namun aku tak suka pantai. Aku lebih suka berkelana di hutan. Perkataanmu seperti seseorang yang tengah mabuk kebayang. Selalu. Padahal aku paham betul engkau tengah tersadar.

Baik. Kali ini biarkan aku sedikit berkisah tentang duniaku. Aku selalu pulang tiap dua minggu sekali ke kotaku yang kecil dan terletak di perbatasan. Menempuh enam jam perjalanan demi menjenguk tanaman dari berbagai spesies yang kutumbuhkan di rumah. Aku bukan pekebun yang ulung menanam segalanya. Ada beberapa bunga yang mati karena aku lupa pulang atau lupa tak disiram. Duniaku adalah absurditas untukmu. Dan sebaliknya kamu adalah kenyataan paling berarti untukku.

Aku mendidikasikan hidupku menanam bunga sejak dua tahun yang lalu saat kegagalan menimpaku dan kesedihan hinggap di mata. Mungkin aku hanya satu dari milyaran manusia yang hidup di planet bernama Bumi dan merasakan jatuh. Ini terdengar klise. Ingin kukatakan bahwa hidupku serupa bunga-bunga yang tumbuh. Setiap hal lahir ke dunia perlu proses tumbuh hingga berbunga. Bunga mengajariku untuk menghargai segala yang hidup. Juga yang mati. Kegagalan hanya bagian dari kehidupan. Sebuah normalitas yang wajar bila terjadi. Kupunguti bungaku satu-satu dan kugantung di kamar sebagai dekorasi. Agar aku selalu menghormati diriku yang telah lahir di Bumi.

Malam ini kau terjaga dalam duniamu. Wajahmu pasti lelah karena terlalu banyak tumpukan tugas. Setiap cetak hitamnya pengalaman telah engkau lalui. Engkau telah berkali-kali terluka. Jangan berhenti disana saja. Temukanlah bagian putihmu. Aku tahu, mungkin duniaku adalah absurditas yang sangat keliru. Kau tak akan paham tentang kecintaanku yang mendalam. Kau tak peduli tentang tanaman, bunga, maupun tulisan-tulisan yang muncul dari kepalaku dan ambyar seperti bintang di langit yang cuma muncul malam-malam. Pikiranku, kukira mereka makhluk nokturnal yang menjadi bagian penyeimbang alam.  

Aku ingat suatu pagi kubeli sepuluh tangkai Mawar Putih di tukang bunga di Surabaya. Kau tak akan peduli tentang sepuluh tangkai Mawar Putih yang benar-benar membuatku mabuk kepayang. Mawar Putih adalah simbolis kesukaanku sejak dahulu. Hadirnya Mawar Putih sama seperti hadirmu di dunia. Berharga, indah dan mempesona. Hanya saja engkau tak begitu mudah didapatkan seperti Mawar Putih. Aku tak begitu tahu perjuangan seperti apa yang harus dikerahkan untuk memilikimu. Harusnya sejarah mengajari bagaimana berjuang mendapatkan cinta yang abadi. Dan bagaimana jika aku salah satu jenis Homo Sapiens yang tidak mau repot-repot berjuang. Adakah aku terekam dan terhitung dalam ingatanmu. Sebab terlalu banyak manusia yang hilur mudik disana. Dan hadirku hanya salah satu saja.

Aku terlampau sering berkelana di pikiranku sendiri. Dan kamu tak perlu tahu apa saja yang tengah terjadi di dalam sana. Aku tak perlu terhitung dalam ingatanmu. Karena hadirku seperti bintang yang cuma hadir malam-malam. Dan begitu mustahil untuk terekam.

12 pemikiran pada “Sepuluh Tangkai Mawar Putih

  1. Libi selalu berhasil menarik pembacanya untuk merasakan emosinya… entah apakah Libi menulisnya dengan emosi beneran, yg pasti kamu berhasil banget membuat pembaca merasakan emosi itu…

    Suka

Tinggalkan komentar