Tentang Hujan, Jogja, dan Suara di Kepala

IMG_6025Hanya berjarak satu meter dari pinggiran trotoar dan kedai kopi. Tepat dibawah rindang pepohonan yang masih meneteskan air. Tapi hari itu Jogja hujan basah yang meninggalkan gelimang air di sekujur jalanan, menguarkan bau serupa magnet yang memikat hati. Sebelumnya aku tidak pernah sekehilangan ini.

Ada cerita yang selalu ingin kuungkit tapi gagal dilantangkan dengan suara. Payah sekali. Tapi berjalan di area Benteng Vredenburg senja itu. Aku tahu dan berani mengakui. Bajuku masih bekas hujan yang belum mengering, rambutku masih basah seperti sehabis keramas. Tapi perasaan ini saja mungkin yang basi.

Tiba-tiba aku memutuskan untuk duduk sebentar. Beraneka ragam penjual, turis, hingga pengunjung yang silih berganti datang. Mataku hanya menatap lampu-lampu jalanan yang mulai menyala karena memang hari sudah gelap. Dari aneka barang yang kubeli, satu tiket perjalanan pulang mengusikku. Salahkah jika kubilang aku ingin menetap, memutari kota Jogja, mendampar ke kedai unik, toko barang antik, toko minuman rempah-rempah atau bahkan ke museum-museum bersejarah. Salahkah jika kubilang aku tidak akan pernah mencintai kota tempatku kuliah dan bahkan merasa muak untuk kembali.

Hari itu aku berani mengakui. Tentang skenario hidup yang tergarap dengan baik mendatangkan muram dan kusam. Kakiku seperti beku, masih ingin menjelajah kota ini. Kuhabiskan lebih dari seperempat jam untuk duduk di trotoar dekat de javasche bank. Tapi malam itu hujan kembali mampir membasahi kota ini seolah memintaku untuk secepatnya kembali. Aku mulai berjalan di tengah hiruk-pikuk. Malam itu aku resmi pulang, menenteng sebuah janji untuk datang kesana lagi meski tidak pernah tahu kapan lagi bisa berkunjung.

Aku tidak pernah menyesal memilih Malang sebagai tempatku berkuliah. Karena aku lebih beruntung dari ribuan manusia di luar sana yang tidak mampu mencapai mimpinya untuk kuliah disini. Hanya saja kota ini terlalu kaku, kadang membuatku bosan, monoton. Terkadang hal-hal sederhana dan tampilan uniklah yang membuatku jatuh cinta.

Aku sadar sepenuhnya. Rindu  ini pasti terlewat. Tentang perasaan yang terlalu dramatis dan barangkali berlebihan. Tapi suara di kepala itu berhasil keluar. Mengkombinasikan kebahagiaan dan muram. Berkali-kali aku datang ke Jogja dan selalu berhasil lolos dari rasa rindu, tapi tidak hari itu. Setiap malam aku selalu memikirkan kapan bisa kembali bahkan hanya untuk sekedar menikmati hujan atau minum kopi.

 

Catatan singkat saat gerimis di Yogyakarta

10 November 2018.

 

7 pemikiran pada “Tentang Hujan, Jogja, dan Suara di Kepala

Tinggalkan Balasan ke Apostroph Batalkan balasan